Full Day School, Gontor Sudah Menerapkan Dari Dulu
Tidak ada kemajuan tanpa kedisiplinan, dan tidak akan ada kedisiplinan tanpa keteladanan
Full Day School di Pesantren – Warga linimasa tampaknya sudah diramaikan dengan full day school
yang akan diterapkan oleh Mendikbud. Mengkutip dari kompas edukasi “Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menggagas sistem
"full day school" untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri
maupun swasta. Alasannya agar anak tidak sendiri ketika orangtua mereka masih
bekerja. Dari kutipan tersebut, saya banyak belajar. Dan saya pun sudah
mengalaminya ketika di pesantrren dulu.
(Baca juga: Sistem Nyantri di Gontor)
Opini masyarakat
sudah banyak tersebar di linimasa, pro dan kontra itu wajar. Namun, kalau
sampai debat mati-matian hingga menjadi dendam, jangan! Sebentar, sebelumya saya
akan bercerita pendidikan saya dulu ketika full day school di pesantren.
Full Day School
yang diterapkan di Gontor, sudah dimulai semenjak Gontor berdiri berpuluh-puluh tahun
lamanya. Orang tua saya tidak kaget dengan pendidikan di Gontor yang full day
hingga malam pukul 22:00. Bayangin, sampai jam 10 malam. Itupun kami memulainya
dari subuh. Kalau anak Ibu Bapak sekalian mungkin ngap ngap-an ya, kalau full
day kegiatan dari sekolah. Ngaji terus? Enggak? Belajar terus? Enggak juga.
Namun, setiap waktu pasti ada ilmu yang baru. Kalau kalian tanya. Terus, kalau
full day school di Gontor hasilnya pada pinter gak? Lah! Mau tanya, memangnya
sekolah ataupun pesantren jaminan menjadi pintar ya? Itu semua kan kembali ke
anak masing-masing.
Kalau Anda
sekalian tanya, iya terus gunanya full day school itu apa? Anak itu tambah
panas otaknya kalau full day school. Bu, Pak, begini… Bayangin yaa, pendidikan
di pesantren saya belajar sedari jam 7 pagi hingga jam 3 sore. Itupun
menggunakan Bahasa arab dan inggris. Bu, Pak, apakah dari ribuan santri yang
mengalami full day school ini pada stress? Atau ada yang tambah (maaf) bodoh? Bu,
Pak, jika Anda sekalian bilang kasihan otak anak-anak yang belajar terus,
apakah kalian tidak kasihan dengan kami yang hidup di pesantren tanpa gadget
atau jarangnya bertemu dengan orang tua kami. Kami, anak-anak yang pernah hidup di
pesantren juga mengalami full day school, bahkan hingga saat ini jika saya
bilang menyesal saya terlalu cepat lulus, dan meneruskan di dunia luar, tahu apa jawaban saya? Pergaulan. Saya lebih baik
hidup di pesantren, saya yang kudet dengan dunia luar itu lebih baik.
Kecanggihan
internet, modern-nya gadget mempengaruhi hidup anak-anak di luar. Saya mau
tanya, apakah anak yang duduk di bangku SMP SMA, mereka mau dipantau ketika
sudah menggunakan gadget? Dikit, sekali Bu, Pak, yang mau dipantau. Saya hanya
menyampaikan opini saya saja, yang setuju dengan Full Day School. Saya
mengalami full day school selama 6 tahun (ENAM TAHUN) dari lulus SD hingga SMA. Saya memang sempat tidak kuat, namun, saya mempunyai Ibu yang baik hati dan menguatkan saya dengan sistem full day school tersebut.
Namun, ingat, Pak
Mentri…tidak semua orang Indonesia setuju dengan gagasan Anda mengenai Full Day
School. Tidak semua orang kuat dengan Full Day School, layaknya santri dan
santriwati yang ada di pesantren. Setiap orang berhak ber-opini, berhak berasumsi, selagi sewajarnya. Jika memang Pak Mentri menerapkan sistem Full Day School, alangkah baiknya melihat lingkungan sekitar. Tidak semua orang tua, guru, bahkan murid setuju, karena mereka bukan berada di lingkungan pesantren. Namun, ingat, Pak, Bu, wali murid, siswi, guru......
“Allah tidak akan membebani makhluk-Nya di luar batas kemampuannya”
Tabik, Semoga
bermanfaat ^ ^
18 komentar
Ngak sanggup kalo full day, aku masih pengen main menikmati hari muda ku #Eeap
ReplyDeleteIya pergaulan sekarang mengkhawatirkan sejak ada hape, bisa seharian anak mainan hape kalau nggak dicegah....salah satu solusinya dipondokkin...
ReplyDeletefull day atau half day itu pilihan. kalau penulis dan orang tua memilih di pesantren itu adalah keputusan karena berdasarkan kebutuhan. tapi kalau masyarakat dipaksa untuk full day, mereka keberatan dengan banyak pertimbangan. semua kembali pada kebutuhan masing-masing.
ReplyDeletegontor luar biasa ya kak!
ReplyDeleteAlhamdulillah, bangga jadi alumni gontor ;)
ReplyDeleteAlhamdulillah, bangga jadi alumni gontor ;)
ReplyDeleteSaya setuju dengan full day, yang perlu disiapkan itu, kualitas gurunya, kesiapan bangunan fisik sekolah (udah tahu kan ya kl sekolah negeri itu wc jorok, gak ramah anak dll) dan yang paling penting kurikulum. Tuh anak2 mai dijejelin apa seharian di ssekolah. :)
ReplyDeleteSaya setuju dengan full day, yang perlu disiapkan itu, kualitas gurunya, kesiapan bangunan fisik sekolah (udah tahu kan ya kl sekolah negeri itu wc jorok, gak ramah anak dll) dan yang paling penting kurikulum. Tuh anak2 mai dijejelin apa seharian di ssekolah. :)
ReplyDeletenamanya manusia kebutuhannya kan beda2. Klo pgn full day school ya tgl pilih sekolah yg full day. Tp jgn minta smw org untuk ngikutin full day.
ReplyDeleteKalau di perdebatkan bisa panjang, tapi dengan adanya Gontor, bagi yg hendak menganut sistem full day dapat merujuk ke sini. Tapi bagi yg keberatan bisa pilih jalur lainnya.
ReplyDeleteTapi jangan paksa juga yg tidak mampu dengan full day, kecuali memang sistem pendidikan memaksa warganya untuk harus ikut.
existensi
ReplyDeleteWow keren, baca novel negeri 5 menara aja tertarik mau masuk kepesanteren gontor, tp uda terlambat, yaa.. biar anak saya aja nantinya yang disana
ReplyDeleteWow keren, baca novel negeri 5 menara aja tertarik mau masuk kepesanteren gontor, tp uda terlambat, yaa.. biar anak saya aja nantinya yang disana
ReplyDeleteViral nihhhh, uhuk! btw Neng Aya mo balik tanpa gadget, sosmed dll? Nanti demam loh, kangeeen ma akuuu :D
ReplyDeleteMba Aya dari Gontor...wahh kereenn
ReplyDeletepondok saya kira bukan salah satu solusi. solusi utama ya dari dalam keluarga terlebih dahulu seperti apa pola mendidiknya. menyerahkan anak ke pondok saya kira seolah tak mampu mendidik dan menaruh tanggung jawab mendidik ke pihak lain #cmiiw #noofense
ReplyDeleteseharusnya, kita yang merupakan negara berkembang gak ada salahnya menganut sistem pendidikan negara maju. di jepang berapa jam anak belajar. namun, bagaimana kualitas sdm sana?
ReplyDeletedi negara maju lain seperti apa dan output sdmnya seperti apa.
saya heran dengan orang indonesia, seolah selalu mengedepankan pelajaran agama lantas mengesampikan pendidikan lain. apakah agama menjadi sumber moralitas utama? bukan kan? #CMIIW #NoOffense
komen kok sampe double, udah sayangmu ke aku double pulak :p
Delete