[16]- Renjana
DOKUMEN PRIBADI |
Saya punya sebuah
janji, dan kamu pun begitu. Janji untuk saling membahagiakan diri kita
masing-masing, pasti. Saya tidak pernah memujimu, kau tampan, manis, atau apa.
Memang benar, kau tidak seperti itu. Tapi, kau benar-benar mengasyikkan.
Sembari saya menulis surat ini, saya melihat beberapa fotomu. Kau selalu
berkarisma ya, ternyata. Bagaimanapun keadaanmu, kalau saya lihat sebenarnya
kau sedikit manis. Cuma sedikit. Ketika kauterbaring di atas kasur biadab di
ruang ICU, ketika kaududuk di atas kursi roda, dan ketika kauberjalan
tertatih-tatih. Sedari kaumengenalku, dan sampai tidak mengingatku, kau masih
mengasyikkan. Mungkin, ketika pertemuan kita dulu, kita dalam zona kasmaran.
Saling perhatian, saling ingin tahu, dan sampai pendekatan. Begitupun, dimana
kita jalan berdua. Terima kasih.
O, ya sekarang
bulanmu, kan? Saya tahu itu. Kauingat tidak, dengan janji sebaskom ice cream? Ingat denganku saja, tidak.
Apalagi dengan ice cream. Tenang, saya tidak memedulikan semua itu. Yang saya
mau, kausembuh, dan kembali seperti dulu. Ya, meskipun kata dokter itu
membutuhkan waktu yang lama, dan dukungan dari orang yang menyayangimu,
termasuk saya.
Kita yang
dipertemukan, kita yang menjalani, dan kita yang masih berjuang. Bukankah ini
sebuah luka? Apakah abadi? Kita harap tidak. Kita menangis untuk yang kesekian
kali, semoga tidak akan terjadi. Saya ingat, ketika saya berpura-pura menjadi
tunanganmu agar diberi izin untuk memasuki ruang ICU.
“Anda keluarga
pasien?” seorang perawat berparas cantik, tapi lebih manis saya, dia bertanya
pada saya.
“Iya,” jawabku
singkat.
“Tunangan?”
“Iya, saya boleh
masuk?”
“Boleh, tapi hanya
dua menit, jam besuk mau habis. Silakan,” apa? Dua menit? Saya tercengang.
Melihatmu dalam keadaan seperti ini hanya dalam waktu dua menit. Dan, ini hari
terakhir saya di Kotamu, untuk besok saya akan pergi. Hanya sebentar. Memasuki
ruang ICU, saya melihat wajahmu, dan saya pun meneteskan air mata. Saya
menunggumu sampai sadar, dan sekarang pergi. Sepedih ini, luka yang kita alami.
Sekarang bukan saatnya untuk menyalahkan. Apalagi menghakimi luka. Yang paling
penting, apakah kita masih bisa melawan luka?
Meskipun kita
berjarak, percayalah selalu ada doa. Kau tidak percaya. Coba kautanyakan pada
Tuhan. Dia tahu, untuk siapa saya berdoa, dan untuk apa? Kesembuhanmu, Kawan. Boy scoot, begitu saya memanggilmu.
Tabik, Kawan...
Hari ke-16 dalam program #30HariMenulisSuratCinta
3 komentar
adakah kesinambungan antara judul dan isi surat? dan juga agak aneh melihat percakapan dalam sebuah surat.
ReplyDeleteAda, Kak. Renjana kan artinya rindu, kasih sayang. Ya saya itu sedang rindu, pada orang tersebut.
DeleteUntuk percakapan, itu kan ingatan saya waktu menjenguk orang yang tertuju dalam surat, Kak. Dan saya tulis percakapan itu. :)
ayaaa potomu keren banget :)
ReplyDelete